Korupsi dalam Perspektif Pembuktian Hukum Pidana

  1. PENGERTIAN KORUPSI

Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio - corruptus, dalam bahasa Belanda disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption, dalam bahasa Sansekerta didalam Naskah Kuno Negara Kertagama tersebut corrupt arti harfiahnya menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejat, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan[1]. Korupsi menurut Henry Campbell Black dalam Black's Law Dictionary adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain[2]. Dalam pengertian lain, korupsi dapat diartikan sebagai "perilaku tidak mematuhi prinsip", dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau pejabat publik. Dan keputusan dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga, korupsi akan timbul, termasuk juga konflik kepentingan dan nepotisme[3]. Terlepas dari berbagai ragam pengertian korupsi diatas, secara yuridis, pengertian korupsi, baik arti maupun jenisnya telah dirumuskan, di dalam Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang sebelumya, yaitu Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971. Dalam pengertian yuridis, pengertian korupsi tidak hanya terbatas kepada perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, tetapi meliputi juga perbuatan-perbuatan yang memenuhi rumusan delik, yang merugikan masyarakat atau orang perseorangan. Oleh karena itu, rumusannya dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

2. Kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif (yang disuap).

3. Kelompok delik pengelapan.

4. Kelompok delik pemerasan dalam jabatan ( knevelarij, extortion ).

5. Kelompok delik yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan rekanan.

 

 

  1. KAIDAH-KAIDAH DALAM PENYELENGGARAAN KEUANGAN NEGARA

Presiden telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tanggal 9 Desember 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang menginstruksikan kepada para Gubernur dan Bupati/Walikota untuk :

1. Menerapkan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik di lingkungan pemerintah daerah.

2. Meningkatkan pelayanan publik dan meniadakan pungutan liar dalam pelaksanaannya.

3. Bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melakukan pencegahan terhadap kemungkinan terjadi kebocoran keuangan negara baik yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Berbagai kalangan menganggap korupsi sepertinya sudah merasuk di seluruh lini kehidupan, menjadi suatu sistem dan menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara, termasuk juga pemerintahan di daerah. Menurut Patrick Glynn, Stephen J. Korbin dan Moises Naim yang menyebabkan meningkatnya aktivitas korupsi, baik yang sesungguhnya maupun yang dirasakan ada di beberapa negara, karena terjadinya perubahan politik yang sistematik, sehingga memperlemah atau menghancurkan tidak saja lembaga sosial dan politik, tetapi juga hukum[4].

Sebenarnya ada kaidah-kaidah yang seharusnya dijadikan acuan berupa produk legislasi, seperti Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), yang merupakan landasan fundamental dalam penyelenggaraan negara, lebih- lebih dalam hal pengelolaan keuangan negara, yang berimplikasi pula kepada penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Di dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, digariskan kaidah-kaidah yang harus dipatuhi di dalam penyelenggaraan negara, terutama terkait pengelolaan keuangan negara, antara lain :

1. Asas kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif;

2. Asas proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara;

3. Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku[5].

Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya untuk mendukung terwujudnya clean government, Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah menjabarkan aturan pokok yang terdapat dalam pasal 23C Undang-Undang Dasar 1945 ke dalam asas-asas umum, baik asas-asas yang telah lama di kenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best practise (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain :

1. Akuntabilitas berorientasi pada hasil ( outcome );

2. Profesionalitas;

3. Proporsionalitas;

4. Keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara;

5. Pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.

Selain itu, di dalam pasal 3 ayat 1 Undang-Undang tersebut juga ditegaskan bahwa " keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan ".

Demikian pula dalam asas umum pasal 3 ayat (3) Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara " setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pegeluaran atas beban APBN/APBD jika anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia ".

Asas-asas umum tersebut harus menjadi acuan dalam setiap pengelolaan keuangan negara, untuk menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip pemerintahan daerah sebagaimana telah dirumuskan dalam Bab VI Undang-Undang dasar 1945. Dengan dianutnya asas-asas umum di dalam produk-produk legislasi tersebut, sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sejalan dengan hal di atas, upaya lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi korupsi di lingkungan pejabat pemerintahan daerah adalah dengan meningkatkan integritas nasional[6]. Memperkenalkan sistem integritas nasional di semua lapisan masyarakat sangat penting bagi proses reformasi dan hendaknya dilakukan secara berkesinambungan. Pendekatan ini penting artinya agar tujuan pembangunan dapat dicapai. Menurut Jeremy Pope, tujuan yang hendak dicapai adalah melalui pendekatan, dengan memperhatikan antara lain :

- Pelayanan publik yang efisien dan efektif, dan menyumbang pada pembangunan berkelanjutan;

- Pemerintahan yang berjalan berdasarkan hukum, yang melindungi warga masyarakat dari kekuasaan sewenang-wenang (termasuk dari pelangaran hak asasi manusia); dan

-   Strategi pembangunan yang menghasilkan manfaat bagi negara secara keseluruhan, termasuk rakyatnya yang paling miskin dan tidak berdaya, bukan hanya bagi para elit.

Dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dicatat dan dikelola dalam APBD, kemudian disebutkan pula dalam Pasal 21 bahwa anggaran pengeluaran dalam APBD tidak boleh melebihi anggaran penerimaan. Selanjutnya dalam Penjelasan Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1999 dinyatakan pertanggungjawaban dalam rangka desentralisasi dilakukan oleh Kepala Daerah kepada DPRD, berbagai laporan keuangan daerah ditempatkan dalam dokumen daerah agar dapat diketahui oleh masyarakat sehingga terwujud keterbukaan dalam pengelolaan keuangan daerah.

Di dalam pasal 20 Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memuat asas-asas penyelenggaraan negara :

a.  asas kepastian hukum ;

b.  asas tertib penyelenggaraan negara ;

c.  asas kepentingan umum ;

d.  asas keterbukaan ;

e.  asas proporsionalitas ;

f.  asas profesionalitas ;

g.  asas akuntabilitas ;

h.  asas efisiensi ;

i.  asas efektivitas.

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Pasal 4 dimuat mengenai Asas Umum Pengelolaan Keuangan Daerah yaitu :

Ayat (1) : Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.

Ayat (2) :  Pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dalam suatu sistem yang terintegrasi yang diwujudkan dalam APBD yang setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah.

Asas-asas umum tersebut harus menjadi kerangka acuan atau frame of reference atau grond idee, yang merupakan pembatas agar di dalam setiap pengelolaan keuangan negara, dapat lebih terarah dan dipertanggungjawabkan dari berbagai aspek hukum ( situationsgebundenheit )[7]. Dalam Peraturan Presiden Nomor: 7 Tahun 2005 tentang Penerapan Tata Pemerintahan yang Baik disebutkan bahwa sasaran penciptaan tata kerja pemerintahan yang bersih dan berwibawa adalah terciptanya tata kepemerintahan yang baik, bersih, berwibawa, profesional dan bertanggung jawab, yang diwujudkan dengan sosok dan perilaku birokrasi yang efisien dan efektif serta dapat memberikan pelayanan prima kepada seluruh masyarakat.

 

 

 

  1. KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM PERSPEKTIF PEMBUKTIAN HUKUM PIDANA

Pada awalnya penyebab korupsi adalah kemiskinan, sehingga kemiskinan menjadi akar dari masalah korupsi, hal ini terlihat dari ketidakseimbangan pendapatan dan pengeluaran konsumtif dari penyelenggara Negara. Namun paradigma tersebut telah bergeser karena ternyata perbuatan korupsi itu sendiri telah mengarah pada sektor swasta (konglomerat) dan birokrat tinggi yang level kehidupannya telah bergelimang dengan kekayaan.

Secara umum dan sederhana korupsi dapat diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan/kepercayaan untuk keuntungan  pribadi. Pengertian korupsi juga mencakup perilaku pejabat-pejabat di sektor publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang memperkaya diri mereka secara tidak pantas dan melanggar hukum, atau orang-orang yang dekat dengan pejabat birokrasi dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan pada mereka. Kehidupan korupsi dalam konteks pelayanan publik ini merupakan perbuatan "korupsi administrasi" dengan fokus pada kegiatan perorangan yang memegang kontrol dalam kedudukannya sebagai pejabat publik, sebagai pembuat kebijakan atau sebagai pegawai birokrasi pemerintah, atas berbagai kegiatan atau keputusan. Dengan makin meluasnya proyek swastanisasi perusahan negara dan pengalihan kegiatan yang selama ini dipandang masuk dalam lingkup tugas pemerintah  ke sektor swasta, dan monopoli penuh atau setengah penuh penyediaan barang publik oleh sektor swasta (misalnya: air, listrik, telkom), maka perbuatan korupsi telah merambah juga pada sektor swasta di luar dan di dalam hubungan kerja sektor swasta dengan sektor publik, sehingga perbuatan korupsi kedua sektor ini membawa dampak negatif terhadap kepentingan publik.

Pada jaman Belanda belum ada aturan khusus yang mengatur perbuatan korupsi, sehingga setiap perbuatan pegawai negeri yang dianggap koruptif tersebut diatur dalam KUHP Belanda yang dikenal dengan Wetboek van Strafrecht (WVS). Dalam jaman awal kemerdekaan sampai kepada dibentuknya Undang-undang Nomor 24 Prp tahun 1960, pengaturan tentang perbuatan yang koruptif itu diatur dalam KUHP Bab VIII Pasal 209, 210, 387, 388, dan Bab XXVIII Pasal 415 416, 417, 418, 419, 420, 423, 424, 425, 435.

Selanjutnya dengan Undang-undang Nomor 24 Prp tahun 1960 dikeluarkan ketentuan tentang Pengusutan, Penuntutan Dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang-undang Nomor 24 Prp tahun 1960 perbuatan korupsi itu dirumuskan dalam 2 hal yaitu : a. Barang siapa, dengan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung, merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

b. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Perumusan tindak pidana korupsi dalam Undang-undang Nomor 24 Prp tahun 1960 disyaratkan bahwa perbuatan tersebut harus dengan adanya kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan orang yang bersangkutan. Sesuai perkembangan masyarakat, khususnya dalam rangka penyelamatan keuangan dan perekonomian negara untuk terlaksananya program pembangunan nasional, keberadaan Undang-Undang Nomor 24 Prp tahun 1960 dirasakan kurang bermanfaat, karena dalam perkembangannya banyak perbuatan-perbuatan yang bersifat koruptif tidak dapat dipidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Prp tahun 1960, oleh karena tidak termasuk dalam perumusan tindak pidana korupsi menurut Undang-undang Nomor 24 Prp tahun 1960, hal mana disebabkan perbuatan korupsi menurut Undang-Undang Nomor 24 Prp tahun 1960 harus didahului dengan adanya perbuatan kejahatan atau pelanggaran. Oleh karena itu dibentuklah Undang- Undang Nomor 3 tahun 1971 yang merumuskan korupsi dalam Pasal 1 (1) sub a,b,c,d,e dan Pasal 2.

Dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 pembuktian unsur melawan hukum tidak lagi harus terlebih dahulu membuktikan adanya perbuatan kejahatan atau pelanggaran. Untuk mencakup perbuatan-perbuatan yang koruptif tetapi tidak dapat dibuktikan adanya kejahatan/ pelanggaran maka menurut Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 korupsi dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan- perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang dilakukan "melawan hukum" yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara .

Dari hal tersebut Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 ada yang mengatur jenis tindak pidana korupsi yaitu : Pasal 1 ayat (1) sub a, Pasal 1 ayat (1) sub b UU

8 Nomor 3 tahun 1971,  Pasal 1 ayat (1) sub c UU Nomor 3 tahun 1971 eks Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, Pasal 435 KUHP, Pasal 1 ayat (1) sub d UU Nomor 3 tahun 1971, Pasal 1 ayat (1) sub e UU Nomor 3 tahun 1971, Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 3 tahun 1971.

Agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana korupsi dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara "melawan hukum" dalam pengertian formil dan materiil.

Dalam rangka menjangkau modus operandi penyimpangan keuangan negara maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001, yang mana dalam Undang-undang tersebut tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil, yang sangat penting untuk pembuktian, karena dengan rumusan secara formil yang dianut oleh Undang-undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana.

Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 ada mengatur jenis tindak pidana korupsi  yaitu : Pasal 2 ayat (1) . Pasal 3, Pasal 5,  UU Nomor 31 tahun 1999 eks Pasal 209 KUHP , Pasal 6 UU Nomor 31 tahun 1999 eks pasal 210 KUHP, Pasal 7 UU Nomor 31 tahun 1999 eks pasal 387 KUHP dan pasal 388 KUHP, Pasal 8 UU Nomor 31 tahun 1999 eks pasal 415 KUHP, Pasal 9 UU Nomor 31 tahun 1999 eks pasal 416 KUHP, Pasal 10 UU Nomor 31 tahun 1999 eks pasal 417 KUHP, Pasal 11 UU Nomor 31 tahun 1999 eks pasal 418 KUHP, Pasal 12 UU Nomor 31 tahun 1999 eks pasal 419, 420, 423, 425, 435 KUHP, Pasal 13 UU Nomor 31 tahun 1999, Pasal 14 UU Nomor 31 tahun 1999,  dan Pasal 15 UU Nomor 31 tahun 1999.

Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 mengatur jenis tindak pidana korupsi yaitu : Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 , Pasal 11, Pasal 12, Pasal 12 A, Pasal 12 B UU Nomor 20 tahun 2001.

Dari hal tersebut jelas kelihatan bahwa penerapan Pasal 2 dan 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 mudah membuktikan namun mengandung multitafsir, akan tetapi Pasal yang lainnya sangat susah membuktikan tetapi tidak multitafsir.

Unsur "melawan hukum" (vide Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001) dan unsur "menyalahgunakan wewenang kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan" (vide Pasal 3 vide Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001) seringkali terjadi kekeliruan pemahaman antara kedua unsur tersebut.

Unsur melawan hukum ( wederechtelijke) dapat dikualifikasikan sebagai melawan hukum formil maupun materiil.  Sifat melawan hukum formil artinya perbuatan pelaku bertentangan dengan ketentuan hukum formal seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan lain-lain. Perlu diingat pula bahwa peraturan yang formal yang dilanggar tersebut tidaklah perlu harus memuat sanksi pidana. Misalnya, Peraturan Presiden tidaklah memuat sanksi pidana, namun terlanggarnya ketentuan tersebut sudah dapat untuk membuktikan unsur melawan hukum. Pengertian  Hukum ( recht ) lebih luas dari pada Undang- Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan lain-lain sebagai hukum tertulis, karena di dalamnya juga memuat pengertian hukum tak tertulis seperti kebiasaan, kepantasan dan kesusilaan di masyarakat. Pelanggaran terhadap kebiasaan, kepantasan dan kesusilaan merupakan sifat melawan hukum materiil, yang dalam praktek peradilan di Indonesia dapat berfungsi positif (sebagai alasan untuk menghukum) seperti dalam kasus R. Sonson Natalegawa (Yurisprudensi MA RI No.275K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983), dan dapat berfungsi negatif (sebagai alasan untuk meniadakan hukuman/membebaskan) seperti dalam kasus Machrus Effendi (Yurisprudensi MA RI No.42K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966).

Untuk kasus "menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan" adalah terlanggarnya/ disalahgunakannya wewenang yang dimiliki oleh pelaku tindak pidana. Formulasi "wewenang" dapat terlihat dari berbagai peraturan formil yang mengatur kewenangan seorang pemangku jabatan tertentu. Peraturan tersebut bisa berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, Peraturan/Keputusan Menteri, Peraturan/ Keputusan Gubernur, Peraturan/Keputusan Gubernur Bank Indonesia dan lain-lain yang memberikan kewenangan tertentu kepada seseorang atau kelompok orang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu di dalam jabatan atau kedudukannya.

Pengertian " sifat melawan hukum formil " sering dirancukan dengan pengertian " menyalahgunakan wewenang " padahal itu jelas berbeda, sebab sifat melawan hukum formil bisa dilakukan oleh setiap orang sedangkan menyalahgunakan wewenang hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kewenangan dan kapasitas tertentu yang ditetapkan secara tertulis oleh suatu peraturan formil (tertulis) . Hal tersebut perlu difahami secara benar karena akan berkaitan dengan masalah pengumpulan alat bukti dan pembuktiannya di depan persidangan.

Selain itu, ada aparat hukum yang berpendapat bahwa kesalahan seorang pegawai negeri yang termasuk dalam lingkup hukum administrasi yang berakibat merugikan keuangan negara bukan termasuk tindak pidana korupsi namun merupakan kesalahan administrasi (kesalahan prosedur) yang seharusnya diselesaikan melalui jalur administrasi dengan menerapkan sanksi administrasi berupa pembayaran ganti rugi.  Padahal, unsur melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 bukan hanya sifat melawan hukum dalam arti pidana, namun juga mencakup melawan hukum administrasi. Dengan demikian, kesalahan atau pelanggaran terhadap hukum administrasi dapat

10 diadopsi ke dalam sifat melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, apabila dari kesalahan administrasi tersebut telah menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.

Demikian juga dengan unsur " memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi " (vide Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001) dan unsur " dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi " (vide Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001), merupakan unsur yang bersifat alternatif sehingga tidak perlu pelaku tindak pidana korupsi harus menikmati sendiri uang hasil tindak pidana korupsi karena cukup si pelaku memperkaya orang lain atau menguntungkan orang lain .  Unsur " memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi " lebih sulit membuktikannya karena harus dapat dibuktikan tentang bertambahnya kekayaan pelaku korupsi sebelum dan sesudah perbuatan korupsi dilakukan.  Namun secara teoritis, unsur "memperkaya diri..." sudah dapat dibuktikan dengan dapat dibuktikannya bahwa pelaku tindak pidana korupsi  berpola hidup mewah dalam kehidupan sehari-harinya. Sedangkan unsur "menguntungkan diri atau orang lain atau suatu korporasi", artinya pada adanya fasilitas atau kemudahan sebagai akibat dari perbuatan menyalahgunakan wewenang.

Mengenai unsur " merugikan keuangan negara " aparat penegak hukum memang bekerjasama dengan instansi terkait yaitu BPK atau BPKP yang membantu penyidik menghitung kerugian negara. Dalam perkembangan hasil audit BPK dan BPKP akhir-akhir ini, terlihat secara fakta hasil audit BPK atau BPKP ini sudah mengarah pada audit adanya "melawan hukum" yang bukan merupakan "zona wewenangnya". Kewenangan BPK atau BPKP dalam melakukan audit adalah dalam zona accounting , sehingga tidak perlu jauh sampai mencari adanya perbuatan melawan hukum atau tidak, karena itu merupakan kewenangan Penyidik dan Penuntut Umum Dalam hal unsur " kerugian keuangan negara ", konstruksi Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 dihubungkan dengan UU Nomor 1 Tahun 2004 harus dilihat secara kemprehensif, dengan mengkaji sejauh mana hubungan pengembalian kerugian negara dengan perbuatan melawan hukum yang dilakukannya. Pengembalian kerugian negara setelah hasil pemeriksaan yang dilakukan BPK tidak serta merta BPK tidak perlu melaporkannya kepada instansi yang berwenang. Dengan demikian setiap temuan adanya kerugian negara oleh BPK dari hasil audit yang dilakukannya harus  dilaporkan kepada instansi yang berwenang (Kejaksaan, POLRI) untuk melihat apakah terjadinya kerugian negara yang dikembalikan tersebut merupakan suatu perbuatan melawan hukum atau tidak.

Kalau kita melihat Pasal 64 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 disana dikatakan " Bendahara, Pegawai Negeri bukan bendahara dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenakan sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana". Dari hal tersebut jelas terlihat bahwa walaupun telah dilakukan pengembalian kerugian negara maka masih dimungkinkan untuk diproses melalui pidana. Dengan demikian secara aspek pidana setiap hasil audit BPK harus dilaporkan kepada instansi berwenang (Kejaksaan dan POLRI) terlepas apakah kerugian negara sudah dikembalikan atau tidak, karena untuk melihat apakah terjadinya kerugian negara tersebut diakibatkan adanya perbuatan melawan hukum atau tidak merupakan wewenang Penyidik, yang mana secara " dominis litis " eks Pasal 139 KUHAP Jaksa yang menentukan dapat tidaknya perkara tersebut dilimpahkan ke Pengadilan.

Kerancuan juga terjadi dalam pembukian unsur "kerugian keuangan negara". Adakalanya dalam praktek peradilan telah terbukti unsur "kerugian keuangan negara", namun, unsur memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi (Pasal 2 ayat (1)), atau unsur "menguntungkan diri atau orang lain atau suatu korporasi" tidak terbukti. Hal tersebut dijadikan alasan untuk membebaskan tersangka tindak pidana korupsi. Kesalahan konstruksi yuridis demikian agaknya menghambat proses penegakan hukum.  Semestinya dengan terbuktinya unsur kerugian negara, berarti telah ada uang atau kekayaan negara yang hilang. Hal tersebut memastikan bahwa tersangka telah memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi, atau tersangka telah menguntungkan diri atau orang lain atau suatu korporasi, dengan uang atau kekayaan negara yang telah terbukti hilang tadi.  Dengan demikian, terbuktinya unsur kerugian keuangan negara dalam suatu persidangan, dapat dikatakan bahwa unsur memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi, atau telah menguntungkan diri atau orang lain atau suatu korporasi, juga telah dapat dibuktikan.  Apabila tidak demikian, maka terjadi konstruksi yuridis yang tidak logis. Kemana uang atau kekayaan negara yang hilang tersebut?

Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 diatur mengenai pengawasan atas penyelenggaraan pemerintah daerah, yang dalam prakteknya dilakukan oleh aparat pengawas internal yang terwadahi dalam Badan Pengawas Daerah (BAWASDA) baik di pemerintahan  Propinsi maupun Kabupaten/Kota.  Hasil pembinaan dan pengawasan dapat digunakan sebagai bahan pemeriksaan oleh badan Pemeriksa Keuangan (BPK (Pasal 221 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).  Dengan demikian dalam penegakkan hukum di daerah khususnya dalam upaya pemerintah melakukan pemberantasan korupsi,  selayaknya BAWASDA dilibatkan dalam upaya pemberantasan korupsi  dalam perspektif preventif administratif.

 

  1. PENUTUP

1. Para Pejabat di Daerah hendaknya  dapat menciptakan pemerintahan yang bersih transparan dan akuntabel, serta tidak mentolerir segala bentuk KKN. Untuk mendukung penegakan hukum di daerah, khususnya dalam upaya pemerintah memberantas KKN.

2. Penegakan hukum di daerah, khususnya dalam pemberantasan korupsi masih terjadi perbedaan persepsi dalam memahami unsur-unsur tindak pidana korupsi terutama Pasal 2 (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001.

3. Perlunya seluruh aparat penegak hukum di daerah dan pejabat di daerah untuk meningkatkan kerjasama dan koordinasi,  sehingga adanya persepsi yang sama dalam memahami unsur-unsur tindak pidana korupsi.

4. Perlunya komitmen yang kuat seluruh aparat penegak hukum dan pejabat di daerah dalam melakukan upaya-upaya pemberantasan korupsi dan pengembalian kerugian negara yang terjadi.

5. Pemberantasan korupsi hendaknya diprioritaskan terhadap proyek-proyek yang menyangkut hajat hidup orang banyak,  bernilai besar dan  yang bersumber dari APBD dan APBN, sehingga kita dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memperkokoh NKRI.

 

 

 

 

 

0 Response to "Korupsi dalam Perspektif Pembuktian Hukum Pidana"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel