Lira Jatim Nilai PPKM Darurat sebuah Kebijakan Setengah Hati


Kantor Berita Patriot Semeru,
Surabaya. Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat Jawa dan Bali untuk menekan penularan Covid-19 selama seminggu belakangan masih tampak tidak efektif karena banyaknya pelanggaran di hampir tiap daerah.
Hal ini dapat dilihat, Pada hari pertama PPKM Darurat, Sabtu (3/7) saja sudah disuguhkan berita lurah di Depok, Jawa Barat, yang gelar pesta pernikahan karena berdalih sudah terlanjur menyebar ribuan undangan. Belakangan, Lurah tersebut kemudian diperiksa Satreskrim Polres Depok. 
Selain itu, dalam Tujuh hari terakhir, Kemacetan masih terjadi akibat penyekatan di sejumlah perbatasan kota besar, seperti di perbatasan Surabaya dan Sidoarjo. Salah satu titik kemacetan parah terjadi di kawasan titik pos penyekatan bundaran waru, Jalan Raya Ahmad Yani hingga mencapai buduran Sidoarjo. Kemacetan karena penyekatan itu diduga karena sejumlah perusahaan, pertokoan hingga perkantoran di Surabaya dan sidoarjo yang bukan sektor esensial maupun kritikal masih beroperasi sejak pembatasan darurat diterapkan pada 3 Juli lalu.
Belum lagi, kebijakan vaksinasi massal yang menyebabkan banyaknya kerumunan dan berpotensi menjadi cluster penularan baru dari covid varian Delta. Hal ini dapat dilihat pada vaksinasi massal yang dilakukan oleh PEMKOT Surabaya di stadion Gelora 10 November Surabaya. Diketahui puluhan ribu masyarakat membuat kerumunan, sehingga membuat Walikota Surabaya Eri cahyadi merasa geram dan terpaksa turun membantu menertibkan masyarakat yang sedang mengantri untuk menjaga jarak. 
Hal yang juga menjadi sorotan publik adalah, pada saat warga masyarakat harus mematuhi PPKM Darurat, diwaktu bersamaan puluhan TKA dari china memasuki perbatasan Indonesia dengan dalih pekerja di sector esensial. Kejadian ini sontak membuat geram netizen dan masyarakat secara luas. 
Sekretaris Lembaga Advokasi dan Hukum LSM Lumbung Informasi Rakyat “LIRA” Jawa Timur Indra Permana,S.H. M.H. menilai banyaknya pelanggaran menunjukkan kebijakan PPKM Darurat kali ini tidak efektif dan terkesan setengah hati, 
"Ini penyebabnya dari sisi kebijakan sendiri yang tak tegas menerapkan sanksi dan penindakan. Kalau implementasi kebijakannya setengah hati seperti itu bagaimana masyarakat mau mengikuti?" kata Indra kepada awak media Sabtu/10/7/2021. 
 Indra menilai pemerintah sekadar cakap untuk membuat peraturan secara tertulis selama pandemi. Namun, lagi-lagi masih gagap melakukan implementasi kebijakan di lapangan terkait penanganan wabah.
"Sejak pelaksanaan PSBB awal-awal dan PPKM , ganti lagi jadi PPKM Darurat, pengawasan kita lemah sekali. Yang tertulis kan harusnya diperketat, harusnya mobilitas masyarakat lebih dibatasi. Tapi itu jauh di implementasinya," kata dia.
Lebih lanjut, Indra menilai pemerintah seharusnya tegas menindak berbagai pelanggaran yang terjadi. Pasalnya, pemegang otoritas yang sah untuk memberikan sanksi kepada masyarakat hanya pemerintah.
Salah satu contohnya, ia menilai pemerintah bisa memberikan sanksi bagi perusahaan nonesensial yang tetap mempekerjakan karyawannya ke kantor. Ia juga menegaskan pemerintah harus bisa mengawasi dengan ketat perusahaan-perusahaan yang masih 'membandel' saat PPKM Darurat dengan bersikap proaktif melakukan inspeksi mendadak.
Selain bertujuan mengurangi mobilitas masyarakat, Indra juga mengatakan hal itu sesuai dengan Instruksi Mendagri yang mewajibkan seluruh pegawai perusahaan di sektor nonesensial untuk bekerja di rumah 100 persen.
"Lalu ada juga dalam Instruksi mendagri itu kan ada 50 persen bisa bekerja di kantor untuk sektor esensial dan kritikal. Lah gimana pengawasannya? Apa betul 50 persen atau lebih? Kan enggak tahu. Pengawasannya lemah," kata dia.
Lemahnya pemerintah dalam mengawasi dan menindak pelanggaran dalam PPKM Darurat akibat dasar hukum PPKM yang tidak kuat.
Indra menilai, peraturan PPKM yang hanya berbasis kebijakan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Surat Edaran tak cukup untuk menindak pelanggaran yang terjadi. Ia menilai seharusnya aturan PPKM ditegaskan melalui peraturan perundang-undangan.
"Soal pandemi ini diatur hanya melakukan Surat Edaran. Ada Surat Edaran Menteri, Satgas dan lainnya. Bahkan ada Inmendagri buat PPKM darurat. Dua instrument itu dinilai lemah terhadap gugatan di PTUN, kata Indra. 
Disisi lain, mobilitas masyarakat yang relative tidak kunjung menurun karena motif perekonomian. Dari hasil pantaian di berbagai media mainstream dan media social, masyarakat terpaksa bekerja dikarenakan perusahaan masih banyak yang tidak meliburkan karyawannya selama PPKM Darurat berlangsung. Masyarakat juga berdalih, jika mereka hanya berdiam diri dirumah maka sama halnya tidak ada pendapatan yang mereka terima untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang cenderung meningkat. Ditambah lagi pemerintah tidak mampu memberikan bantuan finansial atau bahan pokok selama PPKM Darurat. 
Hasil kajian Lembaga Advokasi dan Hukum “LHA” DPW LSM LIRA JATIM memandang bahwa penanganan pandemic covid-19 dapat efektif hanya dengan menerapkan kebijakan Lockdown. 
Bahwa penutupan perbatasan wilayah Indonesia atau pembatasan sosial berskala besar dalam rangka penanggulangan penyebaran virus corona tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Digunakannya dasar UU Kekarantian kesehatan Bukan hanya untuk mengatur sanksi sanksi pelanggarannya tapi untuk karantina masyarakat itu sendiri !! Sindir Keras Indra.
Patut dipahami terlebih dahulu bahwa yang dimaksud kekarantinaan kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. 
Dalam artikel WHO Announces COVID-19 Outbreak A Pandemic sendiri telah diterangkan bahwa: “The meeting follows the announcement yesterday by Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, WHO’s Director-General, that COVID-19 can be characterized as a pandemic. This is due to the rapid increase in the number of cases outside China over the past 2 weeks that has affected a growing number of countries”.
Berdasarkan uraian tersebut, jika diterjemahkan secara bebas, World Health Organization telah menganggap COVID-19 atau virus corona sebagai sebuah pandemi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pandemi berarti wabah yang berjangkit serempak di mana-mana, meliputi daerah geografi yang luas.
Di Indonesia sendiri, status virus corona sebagai penyakit menular yang dapat memicu adanya kedaruratan kesehatan masyarakat telah ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19). Dengan demikian, pemerintah memiliki alasan untuk melakukan karantina di wilayah Indonesia.
Lebih lanjut, UU 6/2018 mengamanatkan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan melalui penyelenggaraan kekarantinaan masyarakat. Dengan demikian, patut dipahami bahwa pemerintah pusatlah yang menetapkan dan mencabut kedaruratan kesehatan masyarakat. 
Jadi, tindakan kekarantinaan kesehatan tersebut berupa : 
a. karantina, isolasi, pemberian vaksinasi atau profilaksis, rujukan, disinfeksi, dan/atau dekontaminasi terhadap orang sesuai indikasi;
b. pembatasan sosial berskala besar;
c. disinfeksi, dekontaminasi, disinseksi, dan/atau deratisasi terhadap alat angkut dan barang; dan/atau
d. penyehatan, pengamanan, dan pengendalian terhadap media lingkungan.
Karantina Wilayah atau Lockdown sendiri, menurut hemat kami, di antaranya dapat dikaitkan dengan karantina wilayah. Karantina wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. 
Karantina wilayah dilaksanakan kepada seluruh anggota masyarakat di suatu wilayah apabila dari hasil konfirmasi laboratorium sudah terjadi penyebaran penyakit antar anggota masyarakat di wilayah tersebut. 
Wilayah yang dikarantina diberi garis karantina dan dijaga terus menerus oleh pejabat karantina kesehatan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berada di luar wilayah karantina. Anggota masyarakat yang dikarantina tidak boleh keluar masuk wilayah karantina. Selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. 
Kemudian, Pasal 8 UU 6/2018 menegaskan bahwa setiap orang juga mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina.
Yang dimaksud dengan "kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya" antara lain kebutuhan pakaian dan perlengkapan mandi, cuci, dan buang air. 
Selain itu, setiap orang mempunyai hak memperoleh perlakuan yang sama dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. 
Namun demikian untuk saat ini, pemerintah lebih memilih melakukanPPKM Mikro, dipertebal hingga Darurat , tanpa melakukan karantina wilayah.
Hal inilah yang kami nilaipenanganan pandemic akibat covid-19 hingga saat ini tidak efektif dan berpotensi akan berlarut-larut.

   Ditulis oleh : Bupati Lira Lumajang (Angga 
    Dhatu N )

0 Response to "Lira Jatim Nilai PPKM Darurat sebuah Kebijakan Setengah Hati"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel