PHK Massal dan Disrupsi AI Mengguncang Industri Media
Mei 07, 2025
Add Comment
Kantor Berita Patriot Semeru
Gelombang PHK pada perusahaan pers terus meningkat setiap kuartal, yang menandakan krisis struktural dalam bisnis media.
Hari Kebebasan Pers Sedunia 2025 yang dirayakan setiap 3 Mei diselimuti suasana muram. Di Indonesia, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massif menyapu ruang redaksi media. Tren ini bukan fenomena baru, namun kecepatannya mengejutkan. Menuju paruh pertama 2025 saja, badai PHK terhadap karyawan–termasuk jurnalis–industri media, terus santer terdengar.
Sebagaimana kabar PHK baru-baru ini di sejumlah media seperti SEA Today, Kompas TV, CNN Indonesia, hingga TvOne. Pada tahun lalu, juga sempat ramai kabar PHK karyawan media ANTV, Net TV, serta Republika. Tentu masih banyak yang lainnya, dan memang tak semua perusahaan media membuka informasi mengenai kabar PHK di internal mereka.
Setidaknya Dewan Pers mencatat, sepanjang 2023-2024, tidak kurang dari 1.200 karyawan perusahaan pers–termasuk jurnalis–terimbas PHK. Dewan Pers menilai, iklim usaha industri pers memang sedang tidak dalam kondisi menguntungkan. Pasalnya, media massa tak lagi menjadi sumber utama masyarakat menemukan berita. Kini, sekitar 75 persen iklan nasional perusahaan pers diambil alih oleh platform digital global dan media sosial.
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nany Afrida, menyatakan memang terdapat kabar terkait PHK di sejumlah media tahun ini, namun pihaknya belum memiliki data konkret kasus PHK di perusahaan media periode 2025. Persoalannya, banyak jajaran awak media lebih suka menyelesaikan kasus PHK secara bipartit dan internal.
“Mereka baru akan melapor ke AJI bila ada sengketa. Sementara AJI baru bisa melakukan advokasi sengketa ketenagakerjaan bila ada laporan,” kata Nany kepada wartawan Tirto, Senin (5/5/2025).
Untuk 2024, setidaknya terjadi beberapa laporan PHK di perusahaan media yang ditangani AJI. Misal, Nany mencontohkan, kasus ketenagakerjaan di CNN Indonesia yang berawal dari dugaan pemotongan upah sepihak oleh manajemen. Sengketa hubungan industrial berlanjut ketika pekerja CNN mendeklarasikan pembentukan serikat pekerja. Usai deklarasi, anggota Solidaritas Pekerja CNN Indonesia (SPCI) menerima surat PHK sepihak.
Kasus lainnya, sengketa ketenagakerjaan di PT Portal Media Nusantara (Pinusi.com) yang bermula dari proses perekrutan pekerja tanpa perjanjian atau kontrak. Di tengah jalan, manajemen perusahaan memutus hubungan kerja dengan alasan kehadiran dewan redaksi yang berseberangan dengan perusahaan. Atas peristiwa ini, sejumlah pekerja diminta tidak lagi bekerja.
AJI juga masih mengawal kasus PT Era Media Informasi (Gatra) yang memproduksi Majalah Gatra. Perusahaan ini memutuskan tutup sejak 31 Juli 2024. Saat penutupan, ada janji hak pekerja dan kewajiban karyawan yang akan diselesaikan. Beberapa bulan usai operasi, AJI menerima kabar bahwa terdapat karyawan yang menuntut upah dan pesangonnya. Kasus Gatra saat ini, kata Nany, tengah didampingi oleh LBH Pers.
Nany menegaskan, gelombang PHK pada perusahaan pers terus meningkat setiap kuartal, yang menandakan krisis struktural dalam bisnis media. Namun terpenting, masyarakat juga harus lebih kritis melihat bahwa PHK merupakan persoalan kondisi media yang melemah. Fenomena ini berimbas terhadap melemahnya demokrasi di Indonesia.
“Media adalah pilar keempat demokrasi. Banyaknya PHK bisa berarti pengawasan media dan jurnalis terhadap kekuasaan melemah, ruang publik kritis menyempit,” tegas Nany.
Aksi jurnalis memperingati Hari Buruh di Palu
Seorang pewarta foto memotret di dekat poster yang dibawa jurnalis saat aksi memperingati Hari Buruh Internasional di depan DPRD Sulawesi Tengah, Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (2/5/2025). Jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Sulteng yang terdiri dari AJI, IJTI, PFI, dan AMSI menggelar aksi memperingati Hari Buruh Internasional dan menyerukan perlindungan bagi wartawan saat melaksanakan tugas jurnalistiknya. ANTARA FOTO/Basri Marzuki/tom.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya PHK di industri media. Terutama disrupsi yang sebelumnya konvensional kini beralih menuju digital. Media konvensional memerlukan dana operasional yang tak sedikit dalam memproduksi berita. Sementara para pembaca kini bisa mendapatkan informasi gratis dan cepat via media sosial meski dengan tingkat kebenaran yang patut dipertanyakan.
Alasan lainnya, Nany menilai porsi iklan yang dulu mengalir ke media justru beralih ke media sosial, buzzer, hingga influencer. Padahal industri media selama ini masih menggantungkan hidup dari iklan untuk tetap bisa berproduksi.
Ditambah, kepercayaan publik kepada media mulai berkurang karena banyak perusahaan pers yang berafiliasi ke oligarki dan partai politik yang sarat kepentingan. Kondisi diperparah dengan perubahan perilaku audiens yang kemudian menjauh dari media.
Dan yang terakhir sekaligus ironi, masih belum ditemukan model bisnis media yang tepat di era digital. Terutama bisnis yang menguntungkan dengan tetap mengedepankan etika dan profesionalisme jurnalistik.
“Saya juga melihat media perlu mengembangkan skema berbasis komunitas, membership, hingga kolaborasi dengan pembaca, bukan sekadar mengejar trafik,” ujar Nany.
0 Response to "PHK Massal dan Disrupsi AI Mengguncang Industri Media"
Posting Komentar